WartaExpress

20 Menit Mengerikan Juliana Marins di Jurang Rinjani: Fakta Autopsi Bikin Merinding

Latar Belakang Kejadian Jatuh di Gunung Rinjani

Pada Selasa, 24 Juni 2025, seorang pendaki asal Brasil bernama Juliana Marins mengalami kecelakaan parah ketika terjatuh ke jurang di kawasan Gunung Rinjani, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Tim SAR gabungan langsung melakukan evakuasi darurat, namun kondisi Juliana begitu kritis akibat benturan keras pada punggung dan dada. Kejadian ini menggugah perhatian publik, hingga akhirnya otopsi dilaksanakan untuk mengungkap penyebab pasti kematiannya.

Hasil Autopsi di RS Bali Mandara

Dokter Spesialis Forensik RS Bali Mandara, dr. Ida Bagus Putu Alit, memimpin proses autopsi dan memaparkan kesimpulan medis utama. Menurut dr. Putu Alit, Juliana diperkirakan meninggal dunia sekitar 20 menit pasca benturan, setelah mengalami luka berat yang memicu perdarahan hebat.

  • Luka punggung: patah tulang belakang dan tulang rusuk, menyebabkan kerusakan jaringan di area dorsal.
  • Pendarahan dominan terjadi di rongga dada, memengaruhi fungsi pernapasan dan sirkulasi darah.
  • Memar dan hematoma di otot-otot paravertebral, menambah volume perdarahan internal.
  • Penyebab Utama Kematian: Blunt Trauma

    Dokter forensik menegaskan bahwa trauma tumpul (blunt trauma) menjadi faktor penentu kematian. Meski terdapat luka di kepala, temuan otopsi mengindikasikan tidak ada herniasi otak—arti semakin menunjukkan bahwa benturan pada punggung dan dadalah yang kritis.

  • Patah tulang: beberapa segmen vertebra torakalis dan tulang rusuk mengalami retak serius.
  • Robekan pleura: lapisan selaput paru-paru sobek, memicu akumulasi darah (hemothorax).
  • Perdarahan masif: darah menumpuk di dalam jaringan dada, menekan paru-paru sehingga pasien gagal bernapas.
  • Estimasi Waktu: 20 Menit Menuju Kematian

    “Kalau kita perkirakan, 20 menit setelah benturan, korban sudah tidak tertolong,” kata dr. Putu Alit. Estimasi ini berdasar pada laju perdarahan internal dan kerusakan organ yang cukup parah. Proses autopsi menunjukkan bahwa dalam waktu kurang dari setengah jam, tekanan darah korban menurun drastis hingga tak dapat lagi menopang fungsi vital tubuh.

    Temuan Rinci Autopsi

    Dalam pemeriksaan detail, tim medis mencatat beberapa kerusakan fisik yang menjadi bukti utama:

  • Fraktur vertebra torakalis: menyebabkan kompromi saraf sumsum tulang belakang.
  • Multipel tulang rusuk patah: mengiris jaringan paru-paru dan pembuluh darah interkostal.
  • Patah femur: luka tambahan di paha sebagai dampak benturan beruntun.
  • Tidak ada organ yang mengerut, menandakan kematian akibat trauma akut bukan penyakit kronis.
  • Penolakan Spekulasi atas Gerakan Korban

    Menanggapi kabar bahwa Juliana sempat bergerak setelah terjatuh, dr. Putu Alit memilih menyampaikan hanya temuan medis. “Kami fokus pada fakta-fakta autopsi, tanpa spekulasi. Yang jelas, luka dan pendarahan internallah yang mengakhiri nyawa korban,” tegasnya.

    Proses Evakuasi dan Pertolongan Pertama

    Tim SAR gabungan tiba sesaat setelah kecelakaan, memberikan pertolongan pertama dengan pembalutan darurat dan oksigen terapi. Namun, akses medan yang sulit—jalur curam dan sempit—membuat evakuasi ke rumah sakit memakan waktu lebih dari satu jam.

  • Penanganan awal: stabilisasi posisi, pencegahan shock traumas.
  • Penggunaan tandu darurat dan tim pengangkut pendakian terlatih.
  • Transportasi darat: ambulans dipersiapkan di kaki gunung menuju RS terdekat.
  • Pelajaran Keselamatan bagi Pendaki

    Kejadian ini mengingatkan pentingnya langkah-langkah keselamatan saat mendaki gunung tinggi:

  • Selalu mendaki dengan pemandu lokal yang memahami medan.
  • Perlengkapan wajib: helm ringan, pelindung tulang belakang, dan satelit pendeteksi lokasi darurat.
  • Pelatihan pertolongan pertama untuk kelompok pendaki.
  • Pantau kondisi cuaca dan keterbatasan fisik sebelum memulai pendakian.
  • Reaksi Komunitas Pendaki dan Otopsi Forensik

    Komunitas pecinta alam di Lombok bereaksi cepat menyebarkan simpati sembari mendesak peningkatan standar keselamatan. Di sisi lain, hasil autopsi forensik menjadi acuan penting bagi pihak terkait untuk menerapkan regulasi lebih ketat, terutama pada jalur pendakian ekosistem sensitif seperti Rinjani.

    Tindak Lanjut dan Rekomendasi

    Pemerintah daerah NTB dan tim SAR berencana:

  • Evaluasi ulang rute jalur pendakian berisiko tinggi.
  • Peningkatan fasilitas posko medis di beberapa titik kunci.
  • Kerjasama dengan lembaga forensik nasional untuk prosedur autopsi lapangan.
  • Pemberdayaan masyarakat lokal sebagai penjaga pintu rimba dan pemberi informasi cepat.
  • Dengan pemahaman medis dan prosedur evakuasi yang diperkuat, diharapkan ke depan tragedi seperti yang menimpa Juliana Marins bisa diminimalisir, sekaligus memberikan rasa aman bagi para pendaki yang menjelajah keindahan alam Indonesia.

    Exit mobile version