Dalam beberapa dekade terakhir, diskusi tentang tata kelola lingkungan dan kebijakan alam semakin mengemuka di ruang publik Indonesia. Judulnya provokatif: “Hukum Bisa Direkayasa, tapi Alam Tak Pernah Bohong.” Ungkapan ini merangkum sebuah kebenaran sederhana namun sering dilupakan oleh pembuat kebijakan dan pelaku ekonomi: upaya manipulasi aturan tidak akan mengubah realitas fisik alam yang akan bereaksi terhadap tindakan manusia. Kajian ini bermula dari rangkaian bencana ekologis yang menimpa sejumlah provinsi—banjir bandang, tanah longsor, dan gelombang duka yang menyapu kampung demi kampung—mengingatkan kita bahwa kebijakan dan praktik pengelolaan sumber daya alam harus selaras dengan batasan ekologis.
Hukum dan regulasi: alat atau tirai asap?
Secara formal, negara memiliki kerangka hukum yang berlapis untuk mengatur pemanfaatan lahan, kehutanan, pertambangan, dan pembangunan infrastruktur. Namun kenyataannya, implementasi aturan itu kerap terkikis oleh kepentingan ekonomi, lobi politik, dan birokrasi yang lemah. “Hukum bisa direkayasa” bukan hanya hiperbola: ada praktik perizinan yang longgar, fragmentasi kewenangan antarlembaga, bahkan celah administratif yang memungkinkan pengubahan status lahan demi kepentingan investasi. Ketika regulasi menjadi komoditas tawar-menawar, maka tujuan perlindungan lingkungan menjadi sekadar formalitas.
Fenomena ini terlihat jelas ketika bencana terjadi: alih fungsi lahan dari hutan menjadi kebun, drainase perkotaan yang tidak memadai, dan pembukaan lahan di lereng-lereng rentan longsor. Semua itu menunjukkan bahwa aturan di atas kertas tidak cukup — diperlukan penegakan hukum yang konsisten dan transparan serta partisipasi masyarakat dalam pengawasan.
Respons alam terhadap tindakan manusia
Alam tidak memiliki suara politik, tetapi ia bereaksi secara mekanis terhadap gangguan. Hutan yang ditebang mengurangi kemampuan resapan air, mengubah siklus hidrologi lokal, dan meningkatkan risiko banjir di hilir. Lereng yang dibuka tanpa perlindungan tanaman penahan memperbesar peluang longsor saat curah hujan ekstrem terjadi. Infrastruktur drainase yang tidak dirancang untuk menampung volume air yang berubah akibat urbanisasi akan meluap dan membanjiri permukiman. Dalam konteks ini, bencana bukan sebuah kebetulan—mereka adalah respons logis terhadap perubahan lansekap yang tidak hati-hati.
Kasus-kasus lokal dan pesan yang tersirat
Di beberapa provinsi yang belakangan dilanda banjir bandang dan longsor, pola yang sama berulang: tekanan pembangunan, kurangnya tata kelola lahan yang baik, dan lemahnya penegakan aturan. Korban tidak hanya kehilangan harta benda tetapi juga mata pencaharian, layanan dasar, dan akses ke kesehatan serta pendidikan. Gelombang duka itu bergerak dari desa ke desa, mencerminkan dampak sosial yang luas. Dari sudut pandang kebijakan publik, setiap bencana menyiratkan dua pesan kepada pembuat kebijakan: pertama, pencegahan jauh lebih murah dan manusiawi daripada penanganan pascabencana; kedua, pendekatan sektoral tidak memadai—diperlukan sinergi antarinstansi dan tata kelola terintegrasi.
Peran masyarakat dan desa adat
Masyarakat lokal sering kali adalah garis depan perlindungan lingkungan. Kearifan lokal, praktik pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, serta sistem kearifan komunal dapat menjadi penyangga alami terhadap kerusakan. Di banyak kasus, ketika wewenang formal lemah, komunitas setempat yang berinisiatif mempertahankan hutan, mengelola sub-wilayah tangkapan air, dan menerapkan aturan sosial untuk mengontrol aktivitas ekstraktif. Memperkuat peran serta komunitas dan mengakui hak-hak masyarakat adat dapat menjadi strategi efektif untuk memperkuat ketahanan ekologi.
Keutuhan kebijakan: dari perencanaan hingga penegakan
Untuk mencegah bencana serupa terulang, langkah-langkah kebijakan perlu terpadu dan konkret:
Teknologi, data, dan akuntabilitas
Teknologi pemetaan satelit dan sistem informasi geospasial kini memungkinkan pengawasan lebih cepat terhadap perubahan penggunaan lahan. Data real-time dapat membantu otoritas mempercepat respons dan memperjelas jejak izin yang bermasalah. Namun data saja tidak cukup: akuntabilitas publik adalah kunci. Masyarakat berhak mengakses informasi penggunaan lahan, izin, dan risikonya—yang pada gilirannya mendorong pengawasan sosial dan mencegah manipulasi hukum di balik meja.
Hukum dan etika: menyelaraskan insentif
Perubahan kebijakan juga harus menyentuh aspek insentif ekonomi. Saat ini, ada dorongan besar untuk pembangunan yang menghasilkan keuntungan cepat—kadang-kadang dengan mengorbankan fungsi ekosistem. Mengubah paradigma ini membutuhkan kombinasi kebijakan fiskal, insentif konservasi, dan mekanisme pembiayaan hijau yang membuat pelestarian menjadi pilihan ekonomis yang rasional.
Pesan akhir yang tersirat jelas: alam tidak berbohong. Ketika kebijakan, perizinan, dan praktek pengelolaan diselaraskan dengan batasan ekologis, masyarakat akan hidup lebih aman dan sejahtera. Sebaliknya, manipulasi hukum demi kepentingan sempit hanya akan mempercepat terjadinya pahitnya konsekuensi alam yang tak bisa ditawar.
