Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mengambil langkah cepat dengan menghentikan sementara seluruh kegiatan pemanfaatan dan pengangkutan kayu bulat di provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Keputusan ini diumumkan menyusul rangkaian bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatra akhir‑akhir ini, di mana temuan kayu hanyut menjadi sorotan publik terkait praktik penebangan dan distribusi kayu pasca‑bencana.
Akar keputusan: cuaca ekstrem dan kayu hanyut
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) Kemenhut, Laksmi Wijayanti, menyatakan bahwa cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir dan longsor menuntut penyesuaian operasional sektor kehutanan. Selain kerusakan infrastruktur, arus sungai yang kuat telah membawa kayu bulat terbawa arus ke berbagai titik, memunculkan risiko peredaran kayu tanpa kontrol dan potensi penebangan ilegal yang memanfaatkan situasi darurat.
Isi kebijakan sementara Kemenhut
Fokus pada penanganan kayu hanyut untuk pemulihan pascabanjir
Kemenhut menegaskan bahwa penanganan kayu hanyut menjadi prioritas karena material ini dapat dimanfaatkan untuk pemulihan darurat, seperti pembangunan darurat jembatan kecil, papan penutup untuk rumah rusak, atau bahan bakar untuk dapur umum. Namun, pemanfaatan ini harus diatur ketat agar tidak membuka celah bagi praktik pencucian kayu atau penjualan ilegal yang akan merusak tata kelola kehutanan.
Pencegahan penebangan ilegal dan transparansi
Salah satu alasan utama penghentian sementara adalah mencegah praktik penebangan dan pemuatan kayu yang memanfaatkan kondisi darurat untuk mengedarkan kayu ilegal. Untuk itu, Kemenhut menuntut transparansi penuh: setiap TPK harus dilaporkan, kondisi stok diverifikasi, dan semua perpindahan kayu harus mendapat pengawasan ketat hingga kebijakan lebih lanjut ditetapkan.
Dampak pada pelaku usaha dan langkah mitigasi
Keputusan ini tentu berdampak pada pelaku usaha kehutanan yang beroperasi di wilayah terdampak: penundaan pengapalan kayu akan memengaruhi arus kas dan logistik. Oleh karena itu, Kemenhut mengimbau perusahaan untuk meninjau kembali RKT, memastikan infrastruktur pengendalian air (seperti saluran drainase dan terasering) berfungsi, serta menyiapkan tindakan mitigasi untuk mengurangi risiko kerugian akibat gangguan operasional.
Koordinasi lintas lembaga dan peran pengawasan
Kebijakan darurat ini mensyaratkan koordinasi erat antara Kemenhut, pemerintah daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), aparat penegak hukum, dan pengawas kehutanan. Penguatan patroli dan pengawasan di lapangan akan melibatkan aparat terkait untuk memastikan kepatuhan dan mencegah upaya‑upaya pemanfaatan kayu ilegal yang dapat memperlambat proses pemulihan korban bencana.
Pesan Kemenhut kepada masyarakat dan pelaku sektor
Implikasi jangka pendek dan jangka menengah
Pada jangka pendek, penghentian ini bertujuan menutup celah penyalahgunaan selama masa darurat serta melindungi lingkungan dari ekses penebangan. Pada jangka menengah, langkah ini diharapkan mendorong perbaikan tata kelola kehutanan, peningkatan sistem pelaporan stok, dan penguatan kapasitas komunitas lokal untuk menangani kayu hanyut secara aman dan bermanfaat bagi pemulihan pascabanjir.
Rekomendasi tindakan yang perlu diperkuat
Langkah Kemenhut menghentikan sementara pengangkutan kayu bulat di Aceh, Sumut, dan Sumbar menunjukkan respons proaktif pemerintah terhadap potensi penyalahgunaan sumber daya alam di tengah bencana. Keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada sinergi antarlembaga, pengawasan ketat, dan keterlibatan komunitas lokal dalam proses pemulihan yang adil dan terukur.
