Polri dan Kejaksaan Bersatu: Rahasia di Balik MoU yang Bisa Ubah Cara Penegakan KUHP–KUHAP di Indonesia

Polri dan Kejaksaan Satukan Langkah untuk Menerapkan KUHP–KUHAP Baru: Apa Maknanya bagi Penegakan Hukum

Penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Polri dan Kejaksaan RI di Gedung Bareskrim pada Selasa malam menandai komitmen konkret kedua institusi untuk berjalan selaras saat KUHP dan KUHAP baru mulai diberlakukan. Langkah ini bukan sekadar simbolis: Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menegaskan bahwa fokus utama adalah memastikan penyidikan dan penuntutan berjalan dengan cara yang sama, dari tahap awal hingga berkas diserahkan ke pengadilan.

Sinkronisasi praktik penyidikan dan penuntutan

Salah satu masalah klasik penegakan hukum di Indonesia adalah perbedaan praktik antar lembaga yang sering kali menimbulkan hambatan teknis ketika perkara berpindah tahap. Dengan MoU–PKS ini, Polri dan Kejaksaan ingin memperkecil celah tersebut melalui penyamaan persepsi dan prosedur teknis. Kapolri menegaskan perlunya “satu frekuensi, satu pikiran” agar standar penerapan pasal, kelengkapan administrasi, dan kualitas pembuktian sejak tahap penyidikan menjadi lebih konsisten.

Ruang lingkup kerja sama: enam bidang strategis

MoU yang ditandatangani memuat enam ruang lingkup strategis sebagai landasan kerja bersama:

  • Pertukaran data dan informasi, untuk mendorong proses penyidikan yang lebih cepat dan akurat.
  • Bantuan pengamanan, khususnya untuk perkara yang menuntut pengawalan dan perlindungan saksi atau barang bukti.
  • Penegakan hukum terpadu agar tidak terjadi tumpang tindih atau saling lempar antar-institusi.
  • Peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan teknis bersama.
  • Pemanfaatan sarana dan prasarana secara efisien, termasuk sistem informasi perkara.
  • Bentuk kerja sama lain yang disepakati kemudian sesuai kebutuhan operasional di lapangan.
  • Implementasi di daerah: dari Kapolda hingga Polsek

    Untuk mencegah praktik yang berbeda antar wilayah saat aturan baru diterapkan, Polri merencanakan rangkaian sosialisasi dan diskusi panel yang melibatkan jajaran kewilayahan: Kapolda, unsur reserse lintas fungsi, serta Polres dan Polsek lewat metode daring dan luring. Pendekatan ini dimaksudkan agar setiap satuan memahami standar teknis baru, menyesuaikan SOP internal, dan mengurangi perbedaan interpretasi yang selama ini menjadi sumber masalah ketika berkas naik ke tahap penuntutan.

    Dampak terhadap kepastian hukum dan rasa keadilan publik

    Kapolri mengaitkan sinergi ini langsung dengan tujuan layanan publik: memberikan kepastian hukum yang dirasakan oleh masyarakat. KUHP–KUHAP baru diharapkan menjawab harapan publik, termasuk fleksibilitas untuk memasukkan kearifan lokal dan mempertimbangkan situasi dan kondisi tertentu dalam penyelesaian perkara. Namun, fleksibilitas itu harus diimbangi dengan ketegasan hukum sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian baru.

    Teknis penyidikan: mengurangi kesalahan prosedural sejak awal

    Salah satu target utama adalah meminimalkan hambatan teknis yang muncul saat berkas berpindah tangan. Dengan kesepahaman teknis, diharapkan hal-hal seperti kelengkapan berkas, kualitas keterangan saksi, pengamanan barang bukti dan dokumentasi forensik menjadi lebih rapi. Pada praktiknya, ini berarti detil kecil—dari pencatatan chain of custody sampai format berita acara pemeriksaan—harus dipatuhi secara konsisten untuk mengurangi potensi pengembalian berkas oleh penuntut karena cacat formil.

    Peningkatan kapasitas SDM: pelatihan terintegrasi

    MoU juga menempatkan peningkatan kapasitas SDM sebagai prioritas. Pelatihan bersama yang direncanakan mencakup aspek teknis penyidikan modern, manajemen berkas elektronik, teknik wawancara saksi dan korban, serta penanganan bukti digital. Transfer pengetahuan ini penting mengingat tantangan kasus-kasus masa kini yang semakin kompleks, termasuk kejahatan siber dan korporasi.

    Potensi tantangan dan pengawasan publik

    Walau langkah ini dinilai progresif, beberapa catatan penting perlu diwaspadai. Pertama, efektivitas MoU tergantung pada implementasi nyata di daerah; koordinasi yang baik di pusat belum tentu terpindahkan secara mulus ke tingkat Polres/Polsek. Kedua, masyarakat dan pengawas independen perlu mengawal agar sinkronisasi tidak berujung pada praktik kolusif yang mengurangi akuntabilitas. Transparansi mekanisme kerja sama, laporan berkala dan keterlibatan publik dalam evaluasi adalah kunci untuk menjaga kepercayaan.

    Arah kebijakan ke depan: dari norma ke praktik

    Dengan dukungan administrasi teknis dan program sosialisasi, Polri berharap penerapan KUHP–KUHAP baru tidak sekadar transformasi regulasi, tetapi juga perubahan nyata dalam praktik penegakan hukum. Jika berhasil, sinergi ini dapat mempercepat penanganan perkara, memperbaiki kualitas penuntutan, dan pada akhirnya meningkatkan kepuasan publik terhadap sistem peradilan pidana nasional.

    Langkah terkini menunjukkan kesiapan institusi penegak hukum untuk menata proses secara lebih sistematis. Namun realisasinya di lapangan harus diikuti oleh pengawasan, pelaporan dan penyesuaian berkelanjutan agar tujuan kepastian hukum dan keadilan yang selama ini diidamkan publik benar‑benar terwujud.