Aktivis Prancis yang 27 Tahun Melindungi Hutan Indonesia: Kisah Mengejutkan Chanee Kalaweit yang Wajib Anda Tahu

Chanee Kalaweit adalah salah satu figur yang tak mudah dilupakan ketika bicara soal konservasi hutan dan perlindungan satwa di Indonesia. Lahir di Prancis Selatan pada 2 Juli 1979 dengan nama asli Aurélien Francis Brulé, ia memilih meninggalkan negeri kelahirannya pada usia 18 tahun dan menetap di Indonesia sejak 1998. Selama hampir tiga dekade, Chanee menempatkan hidupnya untuk menyelamatkan primata, terutama owa, serta membangun jaringan konservasi yang berakar di masyarakat lokal. Di tengah krisis lingkungan dan bencana yang belakangan ini menimpa beberapa wilayah di Sumatera dan Aceh, kiprah dan kritiknya kembali menjadi sorotan publik.

Awal perjalanan: dari rasa tertarik menjadi misi hidup

Ketertarikan Chanee pada primata lahir sejak muda. Pilihan untuk datang ke Indonesia pada 1998 bukanlah keputusan spontan, melainkan hasil sebuah panggilan hati: menyelamatkan owa, primata dengan tangan panjang dan vokalisasi khas di pagi hari hutan Kalimantan. Keberanian meninggalkan Prancis pada usia 18 tahun menandai komitmen yang langka; banyak relawan datang dan pergi, namun Chanee memilih menetap dan menginvestasikan hidupnya di lapangan.

Dari upaya perlindungan individu hingga pembangunan pusat konservasi, langkahnya bertahap. Mendirikan Yayasan Kalaweit merupakan titik balik yang memformalkan kerja lapangan menjadi program konservasi berkelanjutan, melibatkan rehabilitasi satwa, pendidikan lingkungan, patroli anti‑perburuan, dan advokasi kebijakan.

Perjuangan lama: 27 tahun penuh tantangan

Selama 27 tahun berkarya, Chanee menghadapi sejumlah tantangan besar: tekanan birokrasi, hambatan perizinan, intervensi kepentingan ekonomi, hingga pembatasan kebebasan menyatakan pendapat. Meski Kalaweit tercatat sebagai mitra resmi beberapa instansi, hubungan formal tidak selalu berjalan mulus. Chanee menuturkan bahwa dalam kurun sembilan tahun terakhir, organisasi yang dipimpinnya kerap merasa diabaikan, bahkan mengalami pembatasan dalam menyampaikan kritik melalui kanal publik.

Tekanan tersebut menurutnya terlihat pada sulitnya perpanjangan izin dan pembatasan komunikasi di media sosial terkait isu‑isu konservasi yang dianggap kontroversial oleh pihak berwenang. Kondisi ini menuntut organisasi nongovernmental seperti Kalaweit untuk bekerja lebih kreatif, menjaga legitimasi di mata masyarakat, sekaligus berupaya menjaga hubungan profesional dengan instansi terkait demi keberlanjutan program di lapangan.

Kerja nyata di lapangan: rehabilitasi, patroli, dan edukasi

Praktik konservasi yang dijalankan Kalaweit meliputi beberapa pilar operasional yang saling mendukung:

  • Rehabilitasi primata dan satwa liar yang terdampak perdagangan ilegal atau kehilangan habitat—penanganan medis, pemulihan perilaku alami, hingga persiapan pelepasliaran.
  • Patroli anti‑perburuan dan pengawasan habitat untuk mencegah penebangan liar, perburuan, dan konversi lahan yang merusak ekosistem.
  • Program edukasi lingkungan kepada masyarakat lokal dan sekolah—membangun kesadaran kolektif bahwa hutan adalah sumber kehidupan dan bukan sekadar komoditas eksploitasi.
  • Model yang dikembangkan Kalaweit coba menggabungkan konservasi berbasis komunitas dan intervensi darurat terhadap satwa, sehingga perlindungan lebih berkelanjutan ketika masyarakat setempat menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar objek kebijakan konservasi.

    Hubungan dengan pemerintah: mitra sekaligus kritik

    Hubungan Kalaweit dengan Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan institusi lain bergeser antara mitra program dan pengkritik kebijakan. Chanee mengungkapkan pengalaman bahwa meski sempat diakui sebagai mitra, organisasi kerap merasa tidak didengar dan bahkan mendapat tekanan pada rentang waktu tertentu. Batasan terhadap kebebasan berkomunikasi di media sosial menjadi salah satu masalah yang dihadapi timnya.

    Fenomena ini menggambarkan dilema yang dialami banyak LSM konservasi: berkolaborasi dengan pemerintah penting untuk akses izin dan dukungan, tetapi independensi advokasi juga vital untuk mengkritisi kebijakan yang dinilai merugikan kelestarian alam.

    Suara kritis di tengah bencana: hubungan antara perusakan lingkungan dan tragedi

    Chanee kerap menekankan bahwa investasi pada perusakan alam akan berujung pada bencana bagi manusia. Dalam konteks banjir dan longsor di Sumatera dan Aceh, ia secara tegas mengaitkan praktik ekstraktif dan degradasi hutan dengan meningkatnya risiko bencana. Pernyataan semacam ini menempatkannya sebagai suara kritis yang mengingatkan pembuat kebijakan tentang konsekuensi jangka panjang dari pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan.

    Pesan tersebut relevan bagi publik: mitigasi bencana bukan semata respons darurat, melainkan juga keharmonisan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan.

    Warisan dan pengaruh: menginspirasi generasi baru

    Selama hampir tiga dekade, karya Chanee telah menghasilkan dampak nyata: puluhan primata diselamatkan, jaringan relawan tumbuh, dan kesadaran masyarakat lokal meningkat. Meski menghadapi hambatan, keberlanjutan program Kalaweit menunjukkan bahwa konservasi efektif ketika melibatkan pendekatan holistik—gabungan antara tindakan lapangan, edukasi, dan diplomasi lokal.

    Generasi baru aktivis lingkungan di Indonesia melihat contoh perjalanan Chanee sebagai bukti bahwa perubahan jangka panjang memerlukan ketekunan, keberanian, dan kemampuan beradaptasi terhadap dinamika politik dan sosial.

    Tantangan ke depan: perizinan, pendanaan, dan iklim politik

    Memandang ke depan, beberapa tantangan kunci bagi Kalaweit dan organisasi serupa meliputi:

  • Stabilitas perizinan dan ruang operasional yang kondusif agar program konservasi dapat berjalan tanpa hambatan administratif.
  • Sumber pendanaan yang berkelanjutan untuk mendukung patroli, rehabilitasi, dan program pendidikan—terutama ketika pendanaan asing berfluktuasi.
  • Penciptaan ruang dialog konstruktif antara LSM, pemerintah, dan sektor swasta agar kebijakan pengelolaan hutan memperhitungkan aspek ekologis dan kesejahteraan masyarakat lokal.
  • Dalam lanskap konservasi yang makin kompleks, tokoh seperti Chanee tetap relevan: bukan sekadar simbol perlawanan terhadap perusakan alam, tetapi juga agen perubahan yang merajut solusi nyata di lapangan dengan basis masyarakat sebagai fondasi.