Amerika Serikat kembali menempatkan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dalam “Tier 3” Laporan Perdagangan Orang (Trafficking in Persons/TIP) 2025, kategori terendah yang menandakan kegagalan negara memerangi perdagangan manusia. Keputusan ini dipublikasikan oleh Departemen Luar Negeri AS pada 29 September 2025, dan menandai enam tahun berturut-turut Tiongkok dicap sebagai salah satu pelaku perdagangan manusia terburuk di dunia.
Sikap AS terhadap kebijakan kerja paksa di Tiongkok
Dalam laporan TIP 2025, AS menegaskan bahwa praktik kerja paksa di Tiongkok tidak bersifat insidental, melainkan tertanam dalam kebijakan politik dan ekonomi Partai Komunis Tiongkok (PKT). Departemen Luar Negeri AS menyebutkan:
- Adanya “pola kerja paksa” yang meluas pada sektor-sektor afiliasi negara;
- Penahanan massal warga Uighur dan minoritas agama-etnis lain di Xinjiang yang dipaksa bekerja di kamp-kamp “pelatihan kejuruan”;
- Pemanfaatan tenaga kerja di pabrik-pabrik milik BUMN dan swasta dengan dalih “pengentasan kemiskinan.”
Menurut AS, kamp kerja paksa di Xinjiang dan penyaluran tenaga kerja paksa ke sektor industri global membentuk rantai pasok internasional yang meraup keuntungan miliaran dolar dengan kedok pelatihan vokasi dan pembangunan ekonomi regional.
Dampak sistematis pada ekonomi global
TIP Report 2025 menyoroti keikutsertaan langsung badan usaha milik negara dan perusahaan lokal dalam program kerja paksa. Pabrik-pabrik tekstil, elektronik, dan barang konsumsi di provinsi-provinsi barat Tiongkok mempekerjakan tahanan politik, minoritas Uighur, dan pihak yang dianggap “tidak setia” kepada rezim.
Beberapa poin penting yang diungkap laporan tersebut:
- Komponen elektronik dan tekstil dari Xinjiang banyak masuk ke rantai pasok global tanpa transparansi sumber tenaga kerja;
- Eksploitasi transnasional terjadi ketika warga Tiongkok di luar negeri juga wajib mengikuti program pelatihan pemerintah, dengan ancaman represi jika menolak;
- Negara-negara mitra dagang Tiongkok berisiko terbawa skandal kerja paksa, termasuk negara-negara ASEAN yang mengimpor barang jadi.
Bagi pelaku usaha di Indonesia, laporan ini menjadi peringatan untuk meninjau kembali rantai pasok barang impor guna menghindari keterlibatan tak langsung dalam praktik kerja paksa.
Tanggapan Beijing dan kontroversi internasional
Resmi, pemerintah Tiongkok membantah tudingan AS dan menegaskan kebijakan di Xinjiang adalah upaya “melawan ekstremisme” dan “meningkatkan lapangan kerja.” Namun, banyak investigasi jurnalistik dan bukti citra satelit menunjukkan kompleks penahanan dengan kawat berduri serta pabrik yang berdekatan dengan pusat-pusat “pendidikan ulang.”
Sebagian pakar hak asasi manusia dan lembaga internasional menyatakan bahwa program “pelatihan kejuruan” hanyalah eufemisme untuk menutupi kerja paksa dan pelanggaran kebebasan beragama. Kasus ini telah memicu tekanan global, termasuk sanksi terbatas oleh AS terhadap pejabat dan perusahaan tertentu.
Rekomendasi dan langkah pelaku usaha Indonesia
Untuk mengantisipasi dampak negatif, pelaku usaha dan pemerintah Indonesia dapat mempertimbangkan langkah-langkah berikut:
- Melakukan due diligence rantai pasok secara menyeluruh, terutama pada komoditas tekstil dan elektronik impor;
- Menerapkan kebijakan “tanpa toleransi” terhadap barang yang terbukti menggunakan kerja paksa dalam produksinya;
- Memperketat audit pemasok dan menjalin kerjasama dengan organisasi HAM untuk verifikasi lapangan;
- Mendorong diversifikasi sumber impor dari negara-negara yang memiliki catatan HAM lebih baik.
Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat melindungi reputasi dan mencegah dampak hukum maupun moral akibat terlibat dalam perdagangan manusia global.
Posisi Indonesia dan perspektif ASEAN
Sebagai anggota ASEAN, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan menjaga hubungan dagang dengan Tiongkok sekaligus menegakkan komitmen hak asasi manusia. ASEAN telah mengeluarkan Deklarasi Bangkok mengenai perlindungan tenaga kerja migran, namun belum ada mekanisme regional yang kuat untuk memantau kerja paksa.
Pemerintah Indonesia dan negara-negara ASEAN lain dapat memperkuat:
- Kerangka kerja sama trilateral (ASEAN–Cina–UN) untuk memastikan prinsip “hanya tenaga kerja sukarela” dalam proyek infrastruktur bersama;
- Standar etika impor berbasis kesepakatan ASEAN tentang hak asasi manusia;
- Forum dialog bisnis regional yang menyoroti isu transparansi dan keberlanjutan rantai pasok.
Dengan isu kerja paksa makin mendapat sorotan internasional, konsolidasi kebijakan di tingkat ASEAN menjadi penting untuk melindungi pekerja dan integritas pasar di kawasan.
Kesimpulan situasi global
Laporan TIP 2025 mempertegas bahwa perdagangan manusia di Tiongkok bukan sekadar pelanggaran hukum ringan, melainkan bagian dari struktur kekuasaan PKT. Penempatan RRT di Tier 3 memicu pertanyaan serius terhadap praktik perdagangan manusia dan kewajiban negara untuk melindungi hak asasi warganya. Bagi komunitas global, termasuk Indonesia, hal ini menjadi panggilan untuk bertindak—baik melawan praktik kejam tersebut maupun menjaga rantai pasok internasional agar bebas dari kerja paksa.