Pasca perceraian yang resmi dicatat pengadilan pada Mei 2025, aktris dan penyanyi Acha Septriasa serta mantan suaminya, Vicky Kharisma, mengambil langkah unik dengan menerapkan pola co-parenting untuk membesarkan putri semata wayang mereka, Bridgia Kalina Kharisma. Alih-alih terjebak konflik atau menjauh, keduanya justru sepakat menjaga keterlibatan masing-masing sebagai orang tua, demi memastikan tumbuh kembang buah hati mereka tetap optimal.
Latar belakang perceraian dan prosedur hukum
Gugatan cerai diajukan oleh Acha Septriasa, yang dalam dokumen resmi tercatat sebagai Jelita Septriasa Binti IR Sagitta Ahimsha. Putusan cerai, yang diketok oleh majelis hakim secara verstek pada 19 Mei 2025, mencantumkan bahwa Vicky Kharisma Muriza Bin H.Afrizal Muis menjatuhkan talak satu ba’in shughra kepada Acha. Talak yang termasuk kategori ba’in shughra ini memberikan hak bagi Acha untuk memilih rujuk atau tidak dalam masa iddah, serta menegaskan berakhirnya ikatan pernikahan secara sah di mata hukum.
Keputusan tersebut kemudian tercatat dalam Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, menandai status perceraian yang final. Kendati prosesnya terbilang singkat—sekitar lima bulan setelah pernikahan mereka tahun 2016—publik menyoroti betapa pasangan selebritas ini berhasil menutup bab pernikahan dengan dewasa.
Apa itu co-parenting dan mengapa dipilih?
Co-parenting adalah pola pengasuhan bersama di mana orang tua yang sudah bercerai tetap aktif berkolaborasi dalam merawat dan mendidik anak, terlepas dari status hubungan asmara. Prinsip dasarnya mencakup:
- Keterlibatan setara – kedua pihak memiliki hak dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan demi kepentingan anak.
- Komunikasi terbuka – koordinasi jadwal, pendidikan, serta aspek psikologis dan emosional anak dibahas bersama.
- Fokus pada anak – menempatkan kebutuhan dan kesejahteraan anak di atas ego atau permasalahan pribadi orang tua.
Dalam konteks Indonesia, co-parenting belum umum dijalankan oleh pasangan yang bercerai, sehingga pilihan Acha dan Vicky menjadi sorotan sekaligus contoh positif bagi keluarga lain.
Bukti komitmen di media sosial
Komitmen keduanya terlihat jelas dari interaksi di Instagram. Dalam salah satu unggahan foto Vicky bersama putri mereka, Acha memberi komentar: “Pola pengasuhan bersama yang terbaik, terima kasih, Vic.” Kalimat singkat tersebut menjadi sinyal kuat bahwa komunikasi dan kerja sama tetap terjaga meski hubungan rumah tangga telah berakhir.
Lebih dari sekadar caption, dukungan publik dan netizen turut memberi semangat. Banyak yang memuji kedewasaan Acha dan Vicky dalam menyikapi perpisahan, mengingat tak jarang perceraian justru menimbulkan respons negatif atau perseteruan di media sosial.
Manfaat co-parenting bagi perkembangan anak
Menurut para psikolog keluarga, pola co-parenting menawarkan sejumlah kelebihan bagi tumbuh kembang anak:
- Konsistensi pengasuhan – aturan, tata cara tidur, hingga kebiasaan makan terjaga dengan pola yang relatif sama di rumah masing-masing orang tua.
- Rasa aman psikologis – anak merasa dicintai kedua orang tua, mengurangi risiko kecemasan dan perasaan terlantar.
- Pengembangan empati sosial – anak belajar memahami dinamika perbedaan, keterbukaan, dan nilai kerja sama dalam keluarga.
Bridgia, yang kini berusia sekitar 7 tahun, diyakini mendapatkan dukungan emosional lebih baik melalui kehadiran aktif Acha maupun Vicky di setiap momen pentingnya.
Tantangan dan solusi praktis
Tentu saja, co-parenting bukan tanpa tantangan:
- Penjadwalan kunjungan – memastikan waktu yang adil untuk quality time anak bersama masing-masing orang tua.
- Perbedaan gaya asuh – adaptasi terhadap perbedaan metode disiplin, batasan waktu layar gadget, hingga menu makanan sehat.
- Komunikasi efektif – meminimalkan gesekan dan kesalahpahaman melalui pesan tertulis atau panggilan rutin.
Untuk mengatasi hal tersebut, Acha dan Vicky dapat memanfaatkan:
- Kalender online bersama untuk jadwal harian dan libur sekolah.
- Grup chat khusus keluarga dengan aturan netiket demi diskusi yang terstruktur.
- Keputusan bersama berlandaskan prinsip win-win solution, misalnya pembagian waktu liburan tiap musim.
Respons publik dan harapan ke depan
Sejak pengumuman co-parenting, banyak penggemar dan ahli keluarga memantau perkembangan pola asuh ini. Beberapa komentar positif menyatakan harapan agar Acha dan Vicky terus menjaga profesionalisme dalam komunikasi, tanpa melibatkan emosi negatif yang dapat berimbas pada Bridgia.
Warta Express mencatat sejumlah harapan: agar model co-parenting ini dapat mendorong publik lebih memahami manfaat pola asuh bersama, serta meminimalkan stigma terkait perceraian di masyarakat. Kedepannya, praktek ini bisa diadopsi lebih luas, khususnya oleh pasangan selebritas yang menghadapi tekanan publik signifikan.
Panduan langkah awal bagi keluarga lain
Bagi orang tua yang tertarik menerapkan co-parenting, berikut beberapa langkah awal yang bisa diikuti:
- Buat kesepakatan tertulis: dokumen sederhana berisi jadwal, aturan, dan tanggung jawab keduanya.
- Gunakan mediator profesional: konselor keluarga atau psikolog untuk memfasilitasi diskusi awal.
- Fokus pada kepentingan anak: setiap keputusan diambil berdasar kebutuhan fisik dan emosional sang buah hati.
- Berkolaborasi dalam pendidikan: hadir di pertemuan sekolah atau ektrakurikuler, menunjukkan komitmen bersama.
Dengan perencanaan matang dan komunikasi terbuka, co-parenting bukan hanya strategi pengasuhan, tetapi juga investasi untuk masa depan anak yang lebih bahagia dan stabil.