Heboh! DPR Sebut Amnesti Hasto & Abolisi Tom Lembong Terkait Agenda Tersembunyi Prabowo!

Kejutan di Ruang Rapat Komisi III DPR

Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto—Sekretaris Jenderal PDIP—dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong mengejutkan banyak pihak. Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta, menyatakan keheranannya atas waktu pemberian hak prerogatif ini, yang berlangsung menjelang peringatan 17 Agustus 2025. Menurut Sudirta, langkah tersebut sarat dengan potensi kepentingan politik dan bisa mencederai kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Landasan Konstitusional Hak Prerogatif Presiden

Ketentuan mengenai pemberian amnesti dan abolisi terdapat dalam Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945:

  • Ayat (1) menyebutkan bahwa Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
  • Ayat (2) menegaskan bahwa Presiden dapat memberikan amnesti dan abolisi setelah memperhatikan pertimbangan DPR RI.
  • Berbeda dengan grasi yang bersifat individual dan administratif, amnesti dan abolisi bersifat kolektif dan kerap mengundang nuansa politik. Ini menjadi alasan mengapa pertimbangan DPR tidak hanya formalitas, melainkan instrumen kontrol demokratis atas kekuasaan eksekutif.

    Perbedaan Antara Grasi, Amnesti, dan Abolisi

    Dalam praktik ketatanegaraan Indonesia, ketiga hak prerogatif ini memiliki karakteristik khusus:

  • Grasi – Pengampunan hukuman atas dasar lembaga Mahkamah Agung; berkaitan dengan pelaksanaan hukuman pidana setiap individu.
  • Amnesti – Pengampunan kolektif yang dapat mencakup pelaku tindak pidana tertentu secara umum, biasanya terkait peristiwa politik atau konflik.
  • Abolisi – Penghapusan seluruh atau sebagian sanksi, biasanya diterapkan pada kelompok atau kategori pelaku, menghentikan proses hukum yang sedang berjalan.
  • Putusan MK dan Sifat Konstitusional

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-IV/2006 menegaskan bahwa amnesti dan abolisi bukan sekadar tindakan administratif, tetapi tindakan hukum konstitusional. Artinya, prosesnya harus memenuhi prinsip prinsip checks and balances:

  • Pemberian tidak boleh dilakukan sembarangan melainkan berdasarkan alasan yuridis dan pertimbangan DPR.
  • Keterbukaan data teknis mengenai perangkat lunak (jika menyangkut tindak pidana teknologi) atau fakta-fakta hukum menjadi syarat mutlak.
  • Pengawasan Mahkamah Agung dan DPR RI diperlukan untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan wewenang.
  • Dampak Langsung bagi Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong

    Dengan terbitnya Keputusan Presiden, segala proses hukum yang berjalan terhadap dua tokoh tersebut harus dihentikan. Implikasi praktisnya meliputi:

  • Pembebasan fisik—penahanan atau persyaratan penangguhan penahanan menjadi otomatis gugur.
  • Penghentian penyidikan atau penuntutan, yang berarti berkas perkara tidak dapat lagi dilanjutkan di pengadilan.
  • Pencatatan status hukum pada lembaga pemasyarakatan dan kepolisian diperbarui untuk mencerminkan pengakhiran proses pidana.
  • Kontroversi dan Kekhawatiran Publik

    Berbagai pihak mengkhawatirkan potensi penyalahgunaan hak prerogatif ini untuk memenuhi kepentingan politik sempit. Isu-isu yang mencuat di masyarakat mencakup:

  • Status kolektif – Amnesti dan abolisi bisa dijadikan alat tawar menawar politik dalam pergulatan kekuasaan.
  • Transparansi – DPR dan publik menuntut penjelasan rinci, mengapa kasus yang telah diproses hukum dapat dibatalkan tanpa dasar baru yang substantif.
  • Akuntabilitas – Pertimbangan DPR hendaknya melibatkan komisi terkait, dan hasilnya dipublikasikan agar terjamin akuntabel.
  • Amanat Prinsip Checks and Balances

    I Wayan Sudirta menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi mencerminkan fungsi Presiden sebagai kepala negara, namun bukan berarti bebas tanpa batas. Prinsip penyeimbangan kekuasaan menuntut:

  • Partisipasi aktif DPR dalam memberi pertimbangan untuk menjaga keadilan dan kepastian hukum.
  • Pengawasan Mahkamah Agung terhadap aspek yuridis, agar tidak ada pelanggaran administrasi maupun substansi hukum.
  • Pelibatan publik melalui mekanisme keterbukaan informasi, misalnya melalui sidang terbuka atau laporan resmi yang diunggah ke situs lembaga terkait.
  • Fungsi Korektif dalam Sistem Peradilan Pidana

    Sambil mengkritik potensi politisasi, Sudirta juga menyampaikan bahwa amnesti dan abolisi dapat menjadi alat korektif jika terjadi kekeliruan hukum atau terdapat pertimbangan kemanusiaan:

  • Restoratif – Mengembalikan hak-hak dasar warga yang tertahan dalam proses yang panjang.
  • Rehabilitatif – Memfasilitasi pemulihan nama baik dan reintegrasi ke masyarakat.
  • Stabilitas politik – Mencegah eskalasi konflik atau ketegangan yang bisa membahayakan keutuhan nasional.
  • Pertanyaan Mendasar dan Langkah Kedepan

    Publik kini menunggu penjelasan Presiden dan DPR RI terkait sejumlah pertanyaan kunci:

  • Apa dasar yuridis baru yang mendasari kebutuhan untuk memberikan hak prerogatif pada dua tokoh tersebut?
  • Bagaimana DPR menjalankan mekanisme pertimbangan—apakah melalui rapat dengar pendapat atau nota keuangan khusus?
  • Apakah amnesti dan abolisi ini akan memicu gelombang permohonan serupa untuk kasus-kasus lain?
  • Dengan menjawab pertanyaan ini secara terbuka dan komprehensif, diharapkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan konstitusi dapat dipertahankan, sekaligus menjaga integritas hak prerogatif Presiden dalam bingkai negara hukum.