WartaExpress

Ngeri! AI Gantikan 10.000 Pekerjaan Manusia Setiap Bulan, Teknologi & Ritel Kocar-Kacir!

Pasar tenaga kerja Amerika Serikat kembali diguncang oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dipicu oleh kemajuan kecerdasan buatan (AI). Laporan Challenger, Gray & Christmas mencatat bahwa pada Juli 2025 saja, lebih dari 10.000 karyawan dipecat secara langsung karena perusahaan mengalihkan tugas-tugas rutin dan administratif ke mesin. Fenomena ini tidak hanya menambah daftar penyebab PHK, tetapi juga menempatkan AI sebagai salah satu faktor utama di antara lima penyebab terbesar pada tahun ini.

Dampak PHK akibat AI: Data dan Tren

Menurut data yang dikutip dari The Independent, industri teknologi mencatat penurunan tenaga kerja paling signifikan:

Sementara itu, sektor ritel juga merasakan gejolak besar dengan lebih dari 80.000 PHK pada periode yang sama—lonjakan hingga 250% dibanding tahun lalu. Faktor eksternal seperti inflasi, tarif impor, dan ketidakpastian ekonomi memperparah tekanan, sehingga banyak toko menutup gerai dan merumahkan karyawan.

Lulusan Baru Kehilangan Pintu Masuk

Bagi pencari kerja pemula, situasi ini terasa kian menakutkan. Platform karier Handshake melaporkan bahwa lowongan entry-level untuk lulusan baru menurun hingga 15% dalam satu tahun terakhir. Di sisi lain, kata “AI” muncul 400% lebih banyak dalam deskripsi pekerjaan, menandai bahwa perusahaan kini lebih suka mengimplementasikan solusi otomatis daripada membuka lowongan baru.

“Ada semacam cek kosong untuk membeli alat AI ini,” ujar Josh Bersin, CEO The Josh Bersin Company. “Kemudian perusahaan membekukan perekrutan: berhenti merekrut, berhenti menambah staf. Ini langsung membekukan pasar kerja.”

Skema PHK dan Respon Perusahaan

Challenger, Gray & Christmas mencatat bahwa AI menjadi salah satu dari lima penyebab utama PHK tahun ini. Selain AI, pemangkasan anggaran oleh Department of Government Efficiency (DOGE)—dulu dipimpin Elon Musk—menghilangkan lebih dari 292.000 pekerjaan di sektor nirlaba dan layanan kesehatan. Pemerintah juga turut berperan melalui kebijakan visa kerja yang ketat, ikut menambah beban perusahaan dalam mempertahankan tenaga asing.

Meski demikian, beberapa eksekutif berpendapat AI belum sepenuhnya menggantikan seluruh pekerjaan manusia. “Saat ini AI lebih berperan sebagai pelengkap, bukan pengganti sepenuhnya,” kata Andrew Challenger, Wakil Presiden Senior Challenger, Gray & Christmas.

Prediksi Eksekutif Besar

Namun, nada berbeda disuarakan oleh CEO terkemuka. Andy Jassy dari Amazon dan Jim Farley dari Ford menyatakan arah kebijakan yang lebih drastis. Farley bahkan menyebut akan mengganti “secara harfiah separuh dari seluruh pekerja kantoran di AS” dengan solusi otomatis dan AI, mengindikasikan bahwa revolusi tenaga kerja baru saja dimulai.

Peluang dan Tantangan bagi Pekerja Indonesia

Meskipun laporan ini memetakan kondisi di AS, dampaknya terasa global. Indonesia, sebagai satu dari pusat manufaktur dan jasa, perlu bersiap menghadapi risiko serupa:

Strategi respon perusahaan Indonesia

Di Tanah Air, beberapa perusahaan mulai bereksperimen dengan AI pada lini produksi dan layanan pelanggan. Namun, sebagian besar masih mengandalkan tenaga manusia. Berikut langkah yang bisa diambil untuk meminimalkan risiko PHK massal:

Kesempatan Baru dalam Krisis

Walau menggantikan tenaga manusia, AI juga membuka peluang lapangan pekerjaan baru di bidang data science, machine learning engineer, dan AI ethicist. Bagi generasi muda yang tengah meniti karier, menghadapi perubahan ini dengan proaktif—mengasah keterampilan digital dan berpikiran terbuka—adalah kunci untuk bertahan serta meraih posisi strategis di era 4.0.

Perusahaan dan pemerintah pun harus bersinergi, menjadikan transformasi digital sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif, bukan sekadar alasan efisiensi yang mengorbankan sumber daya manusia. Saat gelombang AI terus bergulung, kesiapsiagaan menjadi penentu siapa yang akan selamat di kompetisi tenaga kerja global.

Exit mobile version