Di Nagari Gadut, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, terdapat tradisi unik pembagian daging kurban tanpa kupon yang disebut Manampuang. Tradisi ini hanya ada di Jorong Aro Kandikia dan hingga kini masih dilestarikan secara turun-temurun. Pada Sabtu, 7 Juni 2025, ratusan warga berbaris sepanjang jalan untuk mengikuti ritual Manampuang yang berlangsung meriah sekaligus penuh kekeluargaan.
Akar Sejarah Tradisi Manampuang
Tradisi Manampuang konon telah ada sejak nenek moyang masyarakat Aro Kandikia. Nama “Manampuang” berasal dari bahasa Minang yang berarti “menampung”. Pada zaman dahulu, pembagian daging dilakukan di halaman surau dengan wadah alami seperti daun talas atau daun pisang. Seiring perkembangan zaman, warga mengganti daun tradisional dengan keranjang anyaman dan kantong plastik agar lebih higienis dan praktis.
Prosesi Manampuang di Lapangan
Berbeda dengan sistem kupon di banyak daerah, prosesi Manampuang di Aro Kandikia bersifat terbuka:
- Pembagian daging berlangsung di jalan kampung sepanjang sekitar 100 meter, dimulai dari Surau Baru Aro Kandikia.
- Warga membawa wadah apa saja—ember, keranjang, atau kantong plastik—untuk menampung potongan daging kurban.
- Pisir sebanyak lima ekor sapi disembelih pada Iduladha 1446H, jumlah meningkat dari tiga ekor pada tahun 2024.
- Panitia memotong daging secara merata, memastikan setiap peserta mendapat bagian tanpa terkecuali.
Peran Panitia dan Partisipan
Ketua Panitia Kurban A. Datuk Gadang (71) menyatakan:
- “Tahun ini jemaah surau dan warga lokal yang berpartisipasi berjumlah 35 orang.”
- “Tujuan utama adalah agar tidak ada keluarga yang terlewat meski mereka tidak memiliki kupon di tempat lain.”
Panitia dibantu relawan muda setempat yang terjun langsung untuk menyiapkan area pemotongan, alat tulis pembagian, serta tim dokumentasi demi transparansi. Selain itu, kader posyandu lokal turut memastikan kebersihan dan penataan wadah agar proses tetap higienis.
Keunikan dan Nilai Kebersamaan
Beberapa aspek unik yang membedakan Manampuang dari tradisi kurban pada umumnya:
- Pembagian tanpa kupon mencerminkan semangat gotong royong dan inklusivitas. Semua warga, tua maupun muda, berhak ikut antri.
- Lahan jalan kampung menjadi saksi sejarah, karena warga bergotong royong membersihkan ruas jalan sebelum prosesi.
- Nampan tradisional kini diadaptasi dengan wadah modern, namun filosofi “menampung berkah” tetap terjaga.
- Manampuang dipandang sebagai ajang silaturahmi, di mana tetangga yang jarang bertemu menyapa dan saling berbagi kabar.
Pengolahan Daging dan Pembagian Waktu
Setelah pemotongan selesai, panitia langsung mengorganisir pembagian:
- Daging dipotong-potong dalam ukuran sederhana agar mudah masuk berbagai jenis wadah.
- Total jumlah potongan disesuaikan dengan jumlah peserta, rata-rata 8–10 potong per kepala.
- Pembagian dilakukan serentak dalam satu sesi, meminimalkan antrean panjang dan kerusakan potongan daging.
Waktu pelaksanaan Manampuang biasanya pagi hingga siang hari setelah Salat Iduladha, sehingga warga masih memiliki sisa waktu untuk memasak atau membawa pulang daging segar.
Pelestarian Kearifan Lokal
Upaya menjaga tradisi Manampuang tidak lepas dari semangat pelestarian budaya:
- Generasi muda diajarkan nilai gotong royong dan arti kurban di lingkungan rumah tangga.
- Surau dan lembaga adat setempat rutin mengadakan dialog untuk meneruskan pengetahuan leluhur.
- Dokumentasi foto dan video oleh panitia memastikan catatan sejarah tetap tersedia untuk generasi mendatang.
Menurut Arnita (56), salah satu warga senior:
- “Dulu saya juga ikut Manampuang ketika masih kecil. Sekarang anak dan cucu saya terus merasakan pengalaman yang sama.”
Dampak Sosial dan Ekonomi
Selain nilai spiritual, Manampuang membawa manfaat lainnya:
- Menyediakan pasokan daging kurban gratis bagi warga kurang mampu yang tidak memperoleh kupon di tempat lain.
- Mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, karena sapi kurban dibeli dari peternak setempat di Aro Kandikia.
- Membangun solidaritas sosial yang kokoh, menumbuhkan rasa kebersamaan di tengah pluralitas masyarakat.
Partisipasi aktif warga dan panitia menciptakan efek berganda yang memperkuat jaringan sosial dan memberi dampak positif bagi kesejahteraan komunitas.
Tips Mengikuti Tradisi Manampuang
Bagi masyarakat atau wisatawan yang ingin mengikuti Manampuang, beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- Datang lebih awal untuk mendapatkan posisi antrean terbaik dan menghindari terik matahari.
- Membawa wadah yang kokoh dan bersih, misalnya keranjang anyaman atau ember kecil.
- Menghormati aturan panitia dengan tidak saling mendorong saat antri.
- Menggunakan pakaian yang nyaman dan mudah dibersihkan karena prosesi bisa agak berantakan.
Dengan persiapan sederhana, tradisi Manampuang dapat menjadi pengalaman tak terlupakan bagi siapa pun yang ingin merasakan kehangatan komunitas Minangkabau.