Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan pengosongan lahan eks Hak Guna Bangunan (HGB) untuk kawasan Hotel Sultan menimbulkan kontroversi. Keputusan tercantum pada nomor perkara 208/Pdt.G/2025/PN.Jkt.Pst dan menjadi perhatian publik karena menyentuh persoalan hak atas tanah, investasi, serta kepastian hukum yang menjadi fondasi iklim usaha di Indonesia.
Garis besar putusan dan klaim pihak pengelola
Pengadilan memutuskan agar lahan eks HGB yang selama ini digunakan untuk kawasan Hotel Sultan dikosongkan. Menanggapi putusan tersebut, kuasa hukum PT Indobuildco, Hamdan Zoelva, menyatakan bahwa pengosongan seharusnya baru dapat dilaksanakan apabila status hak atas tanah telah dipastikan secara jelas oleh pengadilan. Menurut pihak pengelola, PT Indobuildco memperoleh hak atas lahan berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri tahun 1972 dan sertifikat HGB yang kemudian dipecah menjadi beberapa nomor HGB, serta HGB tersebut sempat diperpanjang pada 2002.
Argumen hukum pengelola: kepastian hak dan upaya hukum
Kuasa hukum mempertanyakan eksekusi putusan tanpa adanya kepastian final mengenai status kepemilikan tanah. Mereka menegaskan akan menempuh seluruh upaya hukum yang tersedia untuk mempertahankan hak dan aset perusahaan.
Implikasi bagi iklim investasi dan kepastian hukum
Kasus ini menyoroti masalah mendasar dalam tata kelola pertanahan di Indonesia: bagaimana memastikan kepastian hak sekaligus menegakkan putusan pengadilan. Jika pelaksanaannya dirasa tergesa-gesa oleh sebagian pihak, potensi dampak terhadap kepercayaan investor, baik domestik maupun internasional, menjadi nyata.
Dinamika sosial‑ekonomi di balik gedung bersejarah
Hotel Sultan bukan sekadar bangunan: ia menyerap tenaga kerja, menjadi pusat kegiatan ekonomi, dan punya nilai sejarah urban. Pengosongan lahan otomatis menimbulkan persoalan sosial — karyawan, usaha kecil mitra hotel, dan aktivitas pariwisata yang bergantung pada keberlangsungan operasional hotel berpotensi terdampak signifikan.
Jalan hukum dan opsi penyelesaian
Pihak pengelola menyatakan akan menempuh upaya hukum, yang bisa meliputi gugatan banding atau upaya hukum luar biasa jika tersedia. Sementara itu, alternatif penyelesaian yang sering direkomendasikan dalam kasus serupa melibatkan negosiasi penyelesaian administrasi, verifikasi dokumen historis kepemilikan, atau mediasi yang melibatkan pihak berwenang terkait.
Peran pemerintah dan pengadilan di mata publik
Kasus ini juga menjadi sorotan bagaimana pengadilan dan aparat pemerintahan terkait menjalankan perannya. Di satu sisi, pengadilan memutuskan berdasarkan bukti yang diajukan; di sisi lain, eksekusi keputusan harus mempertimbangkan aspek teknis administrasi pertanahan dan stabilitas sosial. Masyarakat melihat perlunya transparansi dan kepastian langkah untuk menghindari ketegangan berkepanjangan.
Pertanyaan kunci yang perlu jawaban
Kasus Hotel Sultan menjadi contoh nyata kompleksitas sengketa pertanahan di Indonesia: tumpang tindih regulasi, warisan dokumen historis, kepentingan ekonomi dan sosial. Proses hukum selanjutnya dan strategi penyelesaian yang dipilih akan menentukan tidak hanya nasib sebuah properti bersejarah, tetapi juga ukuran kepastian hukum dan kapasitas negara dalam menyeimbangkan keadilan, investasi, dan kesejahteraan masyarakat.
