RUU Paten Digugat ke MK: Benarkah Penghapusan Pasal Kunci Akan Bikin Harga Obat Melonjak dan Akses Pasien Terkepung?

Koalisi Pasien Gugat UU Paten ke MK: Ancaman Monopoli dan Risiko Akses Obat Murah

Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu yang tergabung dalam Koalisi Advokasi Hak Pasien untuk Akses Obat resmi mengajukan uji materiil terhadap Undang‑Undang Nomor 65 Tahun 2024 tentang Paten ke Mahkamah Konstitusi. Mereka mempersoalkan penghapusan Pasal 4(f) yang dinilai memiliki peran penting dalam mencegah praktik perpanjangan paten tanpa inovasi bermakna—fenomena yang dikenal sebagai “evergreening”.

Apa isi keberatan para pemohon?

Para pemohon berargumen bahwa tanpa Pasal 4(f), ruang bagi monopoli jangka panjang oleh perusahaan farmasi akan semakin terbuka. Padahal, akses terhadap obat esensial oleh masyarakat sangat bergantung pada masuknya versi generik ke pasar setelah paten utama berakhir. Ketika perusahaan mengajukan paten sekunder — misalnya untuk bentuk baru, penggunaan kedua, atau saluran pemberian — tanpa adanya persyaratan peningkatan khasiat yang jelas, maka hak monopoli dapat diperpanjang secara artifisial, menghambat persaingan dan menjaga harga pada level tinggi.

Contoh‑contoh kasus yang disorot

  • Obat Bedaquiline untuk TB RO: meskipun paten utama berakhir pada 2023, pendaftaran paten sekunder dilaporkan memperpanjang monopoli hingga 2036.
  • Kasus serupa dilaporkan terjadi pada obat‑obat untuk HIV, hepatitis C, kanker, Diabetes Mellitus, dan bahkan beberapa pengobatan terkait COVID‑19.
  • Koalisi menekankan bahwa praktik tersebut berimplikasi langsung pada kemampuan pasien untuk mendapatkan obat dengan harga terjangkau dan berdampak pada keberlanjutan Anggaran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

    Suara dari komunitas pasien

    Tokoh‑tokoh dari kelompok pasien ikut memberikan keterangan publik. Tony Richard Samosir, Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), menyatakan bahwa Pasal 4(f) sebelumnya menjadi instrumen penting untuk melindungi kesehatan publik karena mencegah pemberian paten yang tidak disertai peningkatan manfaat klinis.

    Arni Rismayanti dari Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI) memberi contoh konkret: satu senyawa yang sama bisa berujung pada banyak paten sehingga harga obat tetap mahal—membebani pasien dan keluarga. Sedangkan perwakilan Indonesia AIDS Coalition (IAC), Irwandy Wijaya, mencontohkan mekanisme perpanjangan monopoli pada obat TB resisten dan bagaimana hal serupa merugikan pasien penyakit menular lainnya.

    Tuntutan koalisi terhadap MK

    Secara hukum, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menilai materiil UU Nomor 65 Tahun 2024 dan memastikan perlindungan konstitusional atas hak hidup dan kesehatan warga negara. Mereka menganggap penghapusan Pasal 4(f) melemahkan pengawasan publik atas pemberian paten yang seharusnya mensyaratkan inovasi substansial.

    Kekhawatiran atas dampak pada JKN dan anggaran negara

    Koalisi juga menyoroti implikasi fiskal. Jika obat generik tertahan masuk pasar karena perluasan monopoli melalui paten sekunder, maka pemerintah akan terus menanggung beban pembelian obat pada harga tinggi melalui JKN. Dalam jangka panjang, hal ini mengancam keberlanjutan sistem jaminan kesehatan nasional dan mengurangi akses bagi kelompok rentan.

    Argumen pihak pro‑paten dan posisi regulator

    Di sisi lain, pihak industri farmasi dan pendukung hak paten kerap menegaskan bahwa paten mendorong investasi riset dan pengembangan obat baru. Mereka berargumen bahwa hak eksklusif sementara penting untuk menutupi biaya penelitian yang sangat tinggi. Namun, koalisi pemohon menekankan keseimbangan antara perlindungan inovasi dan hak publik atas kesehatan—menyanggah bahwa paten sekunder harus memenuhi standar inovasi yang ketat agar tidak disalahgunakan.

    Pengawasan publik dan transparansi

    Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rahmat Maulana Sidik, menilai penghapusan Pasal 4(f) telah mengurangi mekanisme pengawasan publik terhadap pemberian paten. Menurutnya, paten obat bukan sekadar persoalan hak kekayaan intelektual, tetapi isu yang berkaitan langsung dengan nyawa dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, prosedur pemberian paten harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik.

    Dampak terhadap akses obat esensial

  • Keterlambatan masuknya obat generik ke pasar akan menjaga harga obat tetap tinggi.
  • Peningkatan biaya bagi pasien yang membutuhkan terapi jangka panjang.
  • Tekanan tambahan pada anggaran JKN dan kemungkinan pengurangan cakupan atau kualitas layanan apabila biaya obat terus meningkat.
  • Apa yang mungkin terjadi selanjutnya?

    Mahkamah Konstitusi kini memiliki tugas untuk menimbang argumen hukum dan kepentingan publik. Putusan MK akan menentukan apakah penghapusan Pasal 4(f) melanggar hak konstitusional warga negara atas kesehatan. Jika MK menerima sebagian atau seluruh uji materiil tersebut, pemerintah dan DPR kemungkinan harus meninjau kembali ketentuan paten agar lebih sejalan dengan kebutuhan kesehatan publik.

    Imbauan bagi pemangku kepentingan

  • Pembuat kebijakan: menyeimbangkan perlindungan inovasi dengan akses obat bagi masyarakat luas.
  • Regulator paten: memperkuat kriteria pemeriksaan paten untuk mencegah evergreening dan praktik manipulatif.
  • Publik dan komunitas pasien: terus mengawasi, mendokumentasikan kasus yang merugikan, dan mendesak transparansi dalam proses pemberian paten.
  • Catatan akhir

    Kasus uji materiil UU Paten ini menjadi momen penting bagi sistem kesehatan nasional. Pertarungan antara hak paten dan akses publik terhadap obat murah bukan hanya isu teknis hukum—ini adalah isu hidup‑mati yang menyentuh jutaan pasien dan keluarga di Indonesia. Mahkamah Konstitusi akan memegang peranan kunci dalam menentukan arah kebijakan paten yang berkeadilan dan berpihak pada kesehatan publik.