SPKS Bocorkan Dampak Mengerikan PP 45/2025: Petani Sawit Bisa Bayar Denda Ratusan Juta!

Latar Belakang Penerbitan PP No. 45 Tahun 2025

Pemerintah Republik Indonesia resmi mengundangkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan pada 17 Oktober 2025. PP ini menjadi payung hukum bagi pembentukan Satgas PKH (Penertiban Kawasan Hutan) yang bertugas menertibkan dan mengembalikan fungsi kawasan hutan di seluruh wilayah NKRI. Tujuan utama kebijakan tersebut adalah:

  • Melindungi kawasan hutan dari alih fungsi lahan ilegal.
  • Menjaga kelestarian ekosistem dan keanekaragaman hayati.
  • Menjamin ketersediaan ruang hidup masyarakat adat dan suku terpencil.
  • Menekan laju deforestasi yang masih tinggi di beberapa daerah.

Namun, setelah dua hari diundangkan, PP 45/2025 langsung menuai kritik dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Organisasi yang mewadahi petani sawit rakyat di berbagai provinsi ini menilai kebijakan tersebut lebih memihak pada penertiban besar-besaran tanpa memperhatikan kondisi petani tradisional yang telah mengelola lahan turun-temurun.

Kekhawatiran Petani Sawit Rakyat

Ketua Umum SPKS, Sabarudin, menyatakan ada ribuan petani kelapa sawit rakyat yang kini dilanda ketidakpastian. Mereka khawatir lahan yang selama puluhan tahun dikelola akan digolongkan sebagai kawasan hutan lindung sehingga rawan ditindak Satgas PKH. Beberapa poin kekhawatiran tersebut meliputi:

  • Hilangnya kepastian hukum atas kepemilikan lahan yang diwariskan orang tua maupun kakek-nenek.
  • Risiko penyitaan atau penindakan administrasi tanpa proses klarifikasi yang adil.
  • Potensi kriminalisasi petani kecil akibat ketidaktahuan teknis batas kawasan hutan.
  • Ketakutan petani akan beban denda dan sanksi jika lahan dinyatakan melanggar kawasan hutan.

“Kami tidak menolak upaya pemerintah melindungi hutan, tapi jangan sampai petani kecil yang menggantungkan hidupnya dari sawit justru menjadi korban kebijakan,” tegas Sabarudin pada jumpa pers di Jakarta, Jumat malam.

Dampak Denda yang Sangat Berat

Dalam PP 45/2025 disebutkan bahwa lahan kelapa sawit rakyat yang dikualifikasi berada di kawasan hutan bakal dikenai denda administratif hingga Rp 25 juta per hektare per tahun. Bagi petani yang memiliki lahan 2–3 hektare, jumlah tersebut sudah memberatkan. Jika estimasi kerangka waktu 10 tahun diterapkan, perhitungan denda bisa mencapai:

  • Tanah 2 ha × Rp 25 juta × 10 tahun = Rp 500 juta
  • Tanah 3 ha × Rp 25 juta × 10 tahun = Rp 750 juta

Sabarudin mengingatkan, produktivitas sawit rakyat dalam satu hektare hanya mampu menutup biaya operasional dan menghasilkan laba neto yang tidak seberapa dibandingkan potensi denda. “Bayangkan petani yang pendapatannya hanya Rp 10 juta per bulan, kemudian harus membayar denda ratusan juta per hektare,” ujarnya.

Tumpang Tindih dengan Regulasi Agraria

SPKS menyoroti tumpang tindih tiga aturan kunci yang berpotensi menciptakan kebingungan di lapangan:

  • Perpres No. 62 Tahun 2023 tentang Reforma Agraria sebagai fondasi penyelesaian konflik lahan.
  • PP No. 24 Tahun 2021 tentang Sanksi Administratif Kehutanan yang mengatur denda dan sanksi.
  • PP No. 45 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang menetapkan Satgas PKH dan ketentuan denda baru.

Ketiga peraturan tersebut belum sepenuhnya selaras, sehingga implementasinya di daerah rawan memicu ketidakpastian hukum. Petani sawit tradisional sering kali tidak memiliki sertifikat hak guna usaha (HGU) formal meski telah menggarap lahan selama puluhan tahun—padahal landasan reforma agraria menekankan legalisasi lahan petani kecil.

Rekomendasi SPKS: Reforma Agraria sebagai Solusi

Untuk mengatasi masalah tersebut, SPKS mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan berbasis reforma agraria:

  • Prioritaskan verifikasi dan pendaftaran lahan sawit rakyat melalui program reforma agraria.
  • Bedakan satgas penertiban antara pelanggaran korporasi besar dan petani kecil tradisional.
  • Beri akses bantuan hukum dan mediasi bagi petani untuk mengajukan klarifikasi batas lahan.
  • Hapus atau kurangi denda administratif secara proporsional bagi petani yang terbukti memperbaiki tata kelola lahan.

Pendekatan reforma agraria dinilai lebih manusiawi karena menempatkan petani kecil sebagai mitra pembangunan ketimbang objek penertiban semata.

Langkah Konkret SPKS dan Upaya Advokasi

Sebagai tindak lanjut, SPKS telah menyampaikan surat resmi kepada Presiden Joko Widodo pada tanggal 17 Oktober 2025. Inti surat tersebut meminta:

  • Pemerintah meninjau ulang PP 45/2025 dan menunda penerapan Satgas PKH di lahan sawit rakyat.
  • Presiden memanggil perwakilan SPKS untuk dialog langsung dan pemaparan fakta lapangan.
  • Penyusunan tim terpadu untuk harmonisasi regulasi agraria dan kehutanan.
  • Penyediaan program percepatan legalisasi lahan rakyat melalui Kementerian ATR/BPN.

SPKS optimis bahwa dialog konstruktif dapat membuka jalan bagi kebijakan yang lebih adil. “Kami ingin bekerja sama, bukan berkonflik. Petani sawit adalah ujung tombak pembangunan pertanian berkelanjutan dan hilirisasi sawit nasional,” kata Sabarudin.