Ahmad Doli Kurnia Serukan Pemisahan Pilpres dan Pileg Usai Putusan MK
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah menuai dukungan luas, salah satunya dari Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia. Menurutnya, langkah tersebut tepat untuk meredam praktik pragmatisme politik dan mengangkat kembali isu-isu lokal yang kerap tenggelam dalam gelombang kampanye serentak.
Alasan Utama: Memulihkan Fokus Isu Daerah
Dalam diskusi Politics & Colleagues Breakfast di Jakarta Selatan, Doli menegaskan bahwa kampanye yang digelar bersamaan bertujuan menyasar janji lima tahun ke depan, tetapi masyarakat tidak menanggapi serius:
- Simultaneous elections membuat kepala daerah dan legislatif saling bersaing mempromosikan visi jangka panjang yang sama, sehingga membingungkan pemilih.
- Isu-isu spesifik di tingkat kabupaten/kota praktis “tenggelam” di bawah sorotan Pemilu Presiden dan DPR.
- Masyarakat dipaksa mencerna tiga jenis Pemilu (Pilpres, Pileg, Pilkada) sekaligus, mengurangi kedalaman diskusi tentang permasalahan lokal.
“Kampanye yang dilakukan kepala daerah ya berkaitan dengan apa yang harus dilakukan dalam lima tahun ke depan, jadi tidak ditanggapi serius oleh masyarakat,” ujarnya.
Praktik Pragmatisme Makin Menguat
Doli menyoroti bahwa pemilu serentak berpotensi memperdalam budaya pragmatisme politik, di mana kemenangan kandidat acapkali ditentukan oleh besaran anggaran kampanye, bukan gagasan substantif:
- Kecepatan mobilisasi suara: kandidat yang memiliki sumber dana besar dapat menjangkau pemilih lebih cepat.
- Dominasi iklan massal: semua calon berlomba menampilkan citra terbaik dalam durasi pendek, bukan membahas program konkret.
- Transaksionalisme: dorongan memberi “hadiah langsung” kepada konstituen untuk meraih suara, terutama di daerah yang tertutup akses informasi.
Menurut Doli, model keserentakan seperti ini “bisa memperdalam praktik pragmatisme di tengah masyarakat” karena politisi fokus ke strategi mendulang suara, bukan membangun komitmen panjang.
Peluang Revisi UU Pemilu, Pilkada, dan Parpol
Dengan putusan MK memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah, Doli menegaskan bahwa DPR dan pemerintah wajib segera merevisi peraturan perundang-undangan terkait:
- UU Pemilu – Aturan tentang Pemilu Presiden dan DPR perlu diubah agar pelaksanaannya terpisah secara jelas, dengan jarak paling lama 2,5 tahun sesuai putusan MK.
- UU Pilkada – Ketentuan teknis kampanye, pendanaan, dan jadwal Pilkada serentak juga harus diluruskan agar sinkronisasi dengan jadwal Nasional benar-benar terpisah.
- UU Partai Politik – Regulasi pendanaan dan mekanisme kaderisasi partai harus disesuaikan dengan frekuensi dan jenis pemilu baru.
Doli mendorong metode omnibus law untuk mempercepat proses revisi berbagai UU tersebut dalam satu paket, sehingga koreksi sistem pemilu dapat berjalan serentak dan tuntas.
Kekhawatiran MK Jadi “Pembentuk UU Ketiga”
Doli menyoroti risiko jika DPR dan pemerintah lambat merespons putusan MK, lembaga yudikatif akan terus mengeluarkan keputusan baru untuk melengkapi kekosongan aturan. Padahal, menurut UUD 1945, pembentuk UU hanya dua, yaitu Pemerintah dan DPR:
- Fungsi MK – Seharusnya hanya menguji undang-undang, bukan menetapkan aturan substantif baru terkait sistem pemilu.
- Bahaya preseden – Jika MK terus mengambil alih pembentukan kebijakan, maka keseimbangan kekuasaan terancam.
- Terlalu progresif – Deretan putusan MK tahun lalu dianggap semakin “progresif”, menunggu tanggapan parlemen.
“MK seolah jadi pembentuk UU ketiga karena pembentuk UU tak segera merespons putusan mereka,” tegas Doli.
Dampak Kerumitan dan Kejenuhan Masyarakat
Pemilu serentak bukan tanpa konsekuensi operasional dan sosial. Doli mengingatkan betapa rumitnya persiapan teknis dan administratif:
- Logistik pemilu – Pengiriman logistik surat suara, kotak suara, dan petugas pemilihan di 270.000 TPS selama sehari bisa memicu kekacauan.
- Berbarengan – Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) memikul beban kerja maksimum dalam waktu pendek.
- Kejenuhan – Masyarakat mengalami kelelahan kognitif ketika harus memilah tiga jenis surat suara sekaligus dalam satu hari.
Menurut Doli, pemisahan Pilpres, Pileg, dan Pilkada justru memungkinkan persiapan lebih matang, sosialisasi isu lebih fokus, dan partisipasi pemilih lebih berkualitas.
Pengaturan Keserentakan Perlu Dikaji Ulang
Berangkat dari pengalaman Pemilu 2024 yang baru pertama kali menerapkan pemilu serentak tiga jenis sekaligus, Doli mendesak kajian menyeluruh:
- Evaluasi dampak – Analisis partisipasi pemilih, efektivitas kampanye, dan kualitas demokrasi pasca-Pemilu 2024.
- Simulasi skenario – Melakukan uji coba pelaksanaan terpisah di beberapa wilayah pilot project sebelum kebijakan berlaku nasional.
- Penyusunan roadmap – Memetakan tahapan transisi antara sistem saat ini, pemisahan nasional–daerah, hingga Pemilu Presiden dan Pileg terpisah.
“Yang saya setujui itu judul besarnya adalah pengaturan keserentakan pemilu. Karena Pemilu 2024 kemarin dilaksanakan bersamaan dan berdekatan antara tiga jenis pemilu, perlu ada kajian ulang agar kedepannya lebih ideal,” pungkasnya.