Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) menyatakan dukungannya terhadap upaya pemerintah menderegulasi sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024. Langkah ini dianggap penting untuk menjaga kelangsungan pekerja industri hasil tembakau yang jumlahnya mencapai jutaan orang.
Latar Belakang PP 28/2024
PP 28/2024 memuat aturan ketat terkait produk tembakau, antara lain:
- Larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
- Penerapan kemasan polos tanpa merek (plain packaging).
- Pembatasan promosi produk rokok dalam jarak 500 meter dari fasilitas umum tertentu.
- Aturan penempatan etalase dan titik jual di tempat-tempat komersial.
Aturan-aturan tersebut bertujuan membatasi akses dan daya tarik rokok, tetapi menurut RTMM hal itu justru menghambat penyerapan produk di pasar dan mengancam keberlangsungan usaha para pekerja rokok.
Argumen FSP RTMM-SPSI
Ketua Umum FSP RTMM-SPSI, Sudarto A.S., menyampaikan beberapa poin utama yang mendasari dukungan terhadap deregulasi:
- Kesesuaian dengan Kebijakan Padat Karya
Industri tembakau di Indonesia terkenal padat karya, menyerap jutaan tenaga kerja. Deregulasi dianggap perlu agar tidak bertentangan dengan program pemerintah yang mendorong penyerapan tenaga kerja skala besar. - Pengaruh Langsung pada Penjualan
Pembatasan radius dan kemasan polos disebut-sebut menurunkan penjualan rokok secara signifikan. Jika serapan pasar berkurang, pabrik dapat mengurangi produksi hingga memicu pemutusan hubungan kerja. - Ketidaksinkronan Implementasi
Sejak unjuk rasa ke Kementerian Kesehatan pada 20 Oktober 2024, RTMM menilai belum ada tindak lanjut konkret. Padahal, sebagian pasal PP 28/2024 dinilai tumpang tindih dengan kebijakan pro-padat karya. - Moratorium Kenaikan Cukai
RTMM mendesak moratorium kenaikan cukai hasil tembakau selama tiga tahun karena kondisi ekonomi global dan domestik yang tidak menentu, serta tingginya angka PHK di berbagai sektor.
Dampak Regulasi terhadap Pekerja
Sejumlah skema dalam PP 28/2024 dikhawatirkan akan menurunkan permintaan rokok, seperti larangan promosi dan kemasan polos. Dampak nyata yang dapat dirasakan pekerja:
- Berkurangnya jam kerja di pabrik tembakau.
- Resiko PHK massal apabila perusahaan menurunkan kapasitas produksi.
- Penghasilan buruh menurun akibat order pabrik yang terpangkas.
- Peralihan konsumen ke rokok ilegal yang lebih murah, semakin menggerus pasar resmi.
Tuntutan dan Harapan FSP RTMM-SPSI
Dalam upaya memperjuangkan keberlanjutan industri tembakau sebagai sektor padat karya, FSP RTMM-SPSI mengajukan beberapa tuntutan:
- Revisi atau pencabutan pasal yang melarang penjualan dalam radius 200 meter dari sekolah dan taman anak.
- Pertimbangan kembali kebijakan kemasan polos yang menghilangkan nilai branding lokal.
- Peninjauan jarak promosi 500 meter agar tidak berlebihan dan mengganggu jaringan distribusi kecil.
- Dialog intensif dengan DPR RI, terutama Komisi IX, untuk menjembatani aspirasi pekerja dan pemerintah.
- Moratorium kenaikan tarif cukai minimal selama tiga tahun hingga kondisi ekonomi stabil.
Respons Pemerintah Daerah Kudus
Bupati Kudus, Sam’ani Intakoris, mengakui bahwa hingga saat ini belum ada Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) di wilayahnya. Alasannya, Kudus dikenal sebagai kota kretek dengan puluhan industri rokok yang menyerap ribuan pekerja.
Sam’ani menjelaskan bahwa pemerintah daerah akan membuka komunikasi antara pemangku kepentingan — pemerintah pusat, pekerja, dan pelaku industri — untuk menemukan solusi bersama yang memprioritaskan kesejahteraan buruh rokok dan keberlanjutan usaha.
Selain itu, Pemkab Kudus mendukung usulan moratorium kenaikan cukai, dengan harapan upah buruh rokok dapat meningkat sesuai dengan kenaikan biaya hidup dan biaya produksi.
Langkah Selanjutnya
- Pembentukan Tim Gabungan: Melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kemenaker, dan elemen serikat pekerja untuk membahas revisi pasal bermasalah.
- Rapat Kerja di DPR RI: FSP RTMM-SPSI mendorong Komisi IX dan Komisi XI DPR untuk mengundang pengusaha, pekerja, dan akademisi membahas dampak kebijakan cukai dan regulasi PP 28/2024.
- Monitoring Pasar: Survei cepat terkait volume penjualan rokok di kawasan terlarang untuk mengukur tekanan pasar.
- Advokasi Publik: Kampanye informasi kepada masyarakat soal pentingnya industri tembakau bagi lapangan kerja dan perekonomian daerah kretek.
- Evaluasi Implementasi: Pemerintah pusat diharapkan segera menerbitkan petunjuk teknis yang mengakomodasi kepentingan padat karya tanpa mengabaikan aspek kesehatan.