Pemerintah dan elemen masyarakat sipil kini menyoroti perlakuan terhadap pengguna narkoba yang masih sebagian besar ditangani secara pidana. Ketua Umum Yayasan Mutiara Maharani, Ade Hermawan, menegaskan bahwa proses hukum bagi pemakai dan pecandu Napza harus lebih berorientasi pada pemulihan, bukan hanya penghukuman di penjara. Pernyataan ini muncul di tengah upaya reformasi kebijakan narkotika berbasis pendekatan kesehatan dan keadilan restoratif.
Kondisi pengguna Napza di Indonesia
Data internal Yayasan Mutiara Maharani di Cianjur, Jawa Barat, mencatat lebih dari 700 pecandu telah menjalani rehabilitasi sejak 2012. Sebagian besar pengguna terjerat akibat:
- Sabu-sabu (methamphetamine), yang menimbulkan kecanduan fisik dan psikologis tinggi.
- Sinte (campuran zat stimulan), sering dipakai remaja menengah bawah.
- Tramadol, dipakai sebagai penghilang rasa sakit namun mudah disalahgunakan.
- Ganja, meski efeknya “ringan”, tetap bisa memicu gangguan rekomendasi klinis.
Menurut Ade, rehabilitasi adalah proses panjang: “Pemulihan korban Napza butuh komitmen seumur hidup. Risiko kambuhan selalu ada jika mereka kembali ke lingkungan lama.”
Perpol 8 Tahun 2021 dan tantangan implementasi
Peraturan Kapolri (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 mendorong pendekatan keadilan restoratif bagi pelaku tindak pidana, termasuk pengguna narkoba. Inti ketentuan:
- Pemakai/pecandu diberi opsi rehabilitasi medis dan sosial, bukan dipenjara.
- Penyidikan dan penuntutan dapat dihentikan jika tersangka bersedia direhabilitasi.
- Proses harus melibatkan tim terpadu: medis, psikolog, dan aparat penegak hukum.
Namun praktik di lapangan kerap menemui kendala:
- Penangkapan langsung diarahkan ke jeruji besi, meski kondisi pemakai belum membahayakan publik.
- Ketidakterbukaan jadwal rehabilitasi; SOP sering dilanggar akibat beban kerja penyidik.
- Transaksional antara penyidik dan lembaga rehabilitasi, yang merugikan tersangka serta merusak kepercayaan.
Upaya judicial review ke Mahkamah Agung
Bersama Gerakan Reformasi Advokasi Masyarakat (GRAM), Yayasan Mutiara Maharani telah mengajukan judicial review Perpol 8/2021 ke Mahkamah Agung. Tujuan utama:
- Mempertegas kewajiban aparat menempuh rehabilitasi bagi pemakai/pecandu tanpa proses pidana lebih lanjut.
- Menghapus celah penegakan hukum yang memaksa tersangka langsung ke penjara.
- Mendorong kebijakan narkotika berbasis bukti ilmiah dan pendekatan kesehatan masyarakat.
“Kita ingin memastikan Perpol ini dipraktikkan sesuai roh keadilan restoratif, bukan sekadar slogan,” ujar Ade. Jika dikabulkan, putusan MA bisa menjadi preseden penting untuk reformasi sistem penanganan narkoba.
Penegakan “perang narkoba” oleh Polri
Di sisi lain, Kepala Bareskrim Polri, Komjen Syahardiantono, menegaskan pemberantasan narkoba tetap dijalankan agresif dari hulu ke hilir. Sepanjang Januari–Oktober 2025:
- 197 ton narkoba berbagai jenis disita.
- 38 ribu kasus kriminal terungkap.
- 51 ribu tersangka ditetapkan.
Polri menilai operasi besar-besaran ini sebagai wujud komitmen menjalankan amanat Asta Cita ke-7 Presiden Prabowo–Gibran, yaitu memberantas narkoba hingga ke akar rantai distribusi. Namun, fokus pada pemberantasan kadang dianggap mengabaikan perlindungan bagi pengguna perorangan yang membutuhkan penanganan medis.
Pandangan praktis bagi korban dan keluarga
Bagi korban dan keluarga yang terjerat kasus narkoba, beberapa langkah praktis perlu diperhatikan:
- Segera cari pendamping hukum dan psikososial saat dihadapkan pada proses hukum.
- Ajukan opsi rehabilitasi sesuai Perpol 8/2021, dengan dukungan surat dokter dan psikolog.
- Gunakan jaringan organisasi masyarakat sipil (seperti GRAM) untuk memantau pelaksanaan rehabilitasi.
- Laporkan pelanggaran SOP ke Komnas HAM atau irwasum Polri jika aparat belum menempuh proses kesehatan.
Dengan pendekatan inisiatif mandiri, korban dan keluarga dapat menjaga hak-hak dasar atas kesehatan dan rehabilitasi sebagaimana dijamin oleh regulasi.
Rekomendasi kebijakan dan langkah ke depan
Warta Express merekomendasikan beberapa poin untuk pembuat kebijakan dan pelaksana di lapangan:
- Konsolidasi data pengguna Napza untuk memetakan pola kebutuhan rehabilitasi secara nasional.
- Peningkatan kapasitas tim terpadu (polisi, tenaga medis, psikolog) melalui pelatihan khusus restorative justice.
- Transparansi alur penanganan kasus pemakai narkoba agar masyarakat memahami hak dan kewajibannya.
- Monitoring independen oleh lembaga masyarakat untuk mengawasi penerapan Perpol 8 tanpa penyalahgunaan.
Langkah-langkah ini diharapkan dapat menyeimbangkan antara penegakan hukum terhadap bandar narkoba dan perlindungan hak-hak pemakai yang membutuhkan dukungan medis dan sosial.
